Kapasitas Penjara di Indonesia Kurang

JAKARTA, publikreport.com – Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna H. Laoly, mengeluhkan kurangnya kapasitas penjara di Indonesia yang tak kunjung teratasi. “Setiap tahun, setiap bulan, jumlah narapidana bertambah sangat cepat,” kata Yasonna di kantornya, Senin, 20 November 2017. “Sebagian besar kasus narkoba.”

Merujuk Sistem Database Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, selama 11 bulan terakhir, jumlah tahanan dan narapidana bertambah rata-rata 2.131 orang per bulan. Hingga kemarin, database mencatat sedikitnya 230 ribu orang menghuni 508 penjara yang hanya mampu menampung 123 ribu orang.

Tingkat kelebihan jumlah penghuni rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan mencapai 187 persen dari daya tampung penjara, meningkat dari 170 persen pada awal tahun. Rumah Tahanan Bagansiapiapi di Kabupaten Rokan Hilir, Riau, menjadi yang terparah dengan jumlah penghuni mencapai 826 persen dibanding daya tampung penjara yang hanya untuk 98 orang.

Selain masalah keamanan, Yasonna menuturkan, kemampuan anggaran untuk menghidupi para tahanan dan narapidana yang membeludak sangat rendah. Tahun ini, kementerian mendapat alokasi bujet Rp 180 miliar. “Bahan makanan untuk napi kurang. Ini harus segera dicarikan solusi,” kata Yasonna.

Menurut dia, kementerian telah menyetorkan draf revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan ke kantor Kementerian Sekretariat Negara. Revisi peraturan—di dalamnya termasuk soal syarat pemberian pengurangan hukuman atau remisi—dinilai sebagai solusi untuk mengatasi kelebihan jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan. “Tapi belum (diputuskan),” kata Yasonna.

Digagas sejak tahun lalu, rencana revisi peraturan pemerintah itu tak luput dari kritik. Pegiat antikorupsi khawatir revisi tak hanya bakal meringankan syarat pemberian remisi terhadap terpidana kasus narkoba, tapi juga bagi koruptor atau pelaku jenis kejahatan luar biasa lainnya. Pada 2013, sejumlah terpidana korupsi pernah menggugat beleid tersebut, yang sebagian isinya memperketat syarat pemberian remisi kepada koruptor, di Mahkamah Agung. Tapi MA menolak.

Belakangan, pengetatan pemberian remisi dalam peraturan itu dituding telah melanggar konstitusi dan hak asasi manusia oleh lima koruptor yang mengajukan uji materi Undang-Undang Pemasyarakatan di Mahkamah Konstitusi. Lima koruptor penggugat tersebut adalah Suryadharma Ali, Otto Cornelis Kaligis, Irman Gusman, Barnabas Suebu, dan Waryono Karno. Mahkamah Konstitusi menyatakan tak dapat menerima uji materi ini lantaran pokok peraturan yang dipersoalkan penggugat di luar yurisdiksi.

Sebelumnya, Sekretaris Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Sri Puguh Budi Utami, menilai banyaknya penghuni lapas juga menjadi faktor timbulnya persoalan lain, seperti maraknya peredaran narkoba yang dikendalikan dari balik penjara. Pihak lapas saat ini kewalahan dalam hal pengamanan dan pengawasan. Idealnya, seorang pegawai lapas mengawasi sekitar 20 narapidana. “Realitasnya sekarang, satu sipir mengawasi 62 napi,” kata Sri, awal Agustus 2017. | TEMPO.co

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *